Sumber: Motherjones.com |
Trump bukanlah satu-satunya pembohong yang berjaya--sekitar 70 persen dari perkataannya salah secara faktual, menurut temuan lembaga PolitiFact. Larisnya industri pemalsuan kebenaran juga terjadi di Inggris saat negara itu keluar dari Uni Eropa--juga di Prancis, Jerman, dan Belanda saat gelombang anti-imigran meruyak.
Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini dijadikan banyak orang sebagai kiblat kebudayaan rasional, pada tahun ini, justru kembali ke abad kegelapan di mana cerita khayal mendapatkan pengiman.
Trump dan para politisi Eropa itu secara bersamaan berhasil menemukan teknik baru mengepul banyak suara meski berulang kali tertangkap basah mengibuli orang. Sepanjang tahun ini, mereka berhasil membuat fakta menjadi prioritas terakhir pertimbangan para pemegang hak pilih.
Inilah yang disebut sebagai fenomena "post-truth" atau pasca-kebenaran, sebuah istilah yang pada tahun ini mendapat gelar kehormatan sebagai "kata tahun ini" oleh Kamus Besar Oxford. Pasca-kebenaran merupakan kata sifat yang merujuk pada "kurangnya daya pikat fakta objektif dalam pembentukan opini masyarakat dibanding emosi dan prasangka".
Pasca-kebenaran bermakna jauh lebih luas dibanding dusta. Jika dalam dusta sebuah fakta direkayasa, pasca-kebenaran membuat "yang nyata" menjadi tidak penting dan, oleh karena itu, verifikasi atas kesahihan ucapan tidak akan mengubah apa-apa.
Fenomena ini terlihat jelas dalam masa kampanye pemilihan umum presiden Amerika Serikat. Trump membalik semua ramalan dengan mengalahkan Hillary Clinton, meski semua media massa ramai-ramai menelanjangi kebohongan-kebohongan Trump.
Gelombang pemberitaan negatif itu tidak mengubah pendirian warga Amerika Serikat. Mereka tetap memilih sang pendusta untuk memegang kekuasaan tertinggi negara.
Lalu pertanyaannya, kenapa penduduk di negara-negara maju dengan tingkat pendidikan yang tinggi itu memilih pembohong? Dan kenapa pula tokoh-tokoh yang menyempurnakan seni membual seperti Trump, Nigel Farage (Inggris), Marie Le Pen (Prancis), Frauke Petry (Jerman), dan Geert Wilders (Belanda) bisa muncul dan berjaya pada waktu yang sama?
Untuk pertanyaan kedua, jawabannya adalah momentum. Di Amerika Serikat, Donald Trump berhasil membaca dengan baik keresahan warga soal kecenderungan globalisasi yang membuat raksasa manufaktur seperti produsen telepon pintar Apple dan mobil Ford memindahkan pabrik mereka ke negara-negara berburuh murah seperti China atau Meksiko.
Sementara di Eropa, kedatangan jutaan pengungsi pelarian perang Suriah selama dua tahun terakhir membuat warga lokal khawatir atas invasi kebudayaan Muslim yang dianggap seperti minyak bagi air sekularisme Eropa.
Dua momentum ini kemudian bisa menjawab pertanyaan pertama. Di Eropa, prasangka terhadap para pendatang yang membawa kebudayaan dan identitas berbeda sudah sedemikian kuat sehingga klarifikasi berita-berita palsu--seperti rumor yang menyebutkan seorang pengungsi Muslim di Jerman merusak toilet karena pernah diduduki oleh orang kafir--tidak akan banyak membawa dampak.
Demikian pula yang terjadi pada para buruh kerah biru Amerika Serikat yang geram pada Meksiko dan imigran karena mencuri pekerjaan mereka.
Para politisi seperti Trump dan Le Pen mengeksploitasi keresahan dan kegeraman itu dengan menciptakan kebohongan yang semakin menguatkan prasangka warga. Inilah cara kerja utama politik pasca-kebenaran, yang tidak hanya melibatkan kebohongan tapi juga memanfaatkan sentimen yang telah ada sebelumnya.
Trump misalnya berdusta, dengan mengatakan "Meksiko mengirim pengedar narkoba dan pemerkosa untuk menghancurkan Amerika Serikat", untuk menguatkan prasangka bahwa imigran Meksiko memang membuat penduduk pribumi kehilangan mata pencaharian.
Berita palsu soal pengrusakan toilet oleh pengungsi di Jerman adalah contoh lain. Politisi garis kanan mengarang fakta tersebut untuk menguatkan praduga bahwa pengungsi Muslim tidak akan bisa beradaptasi dengan kebudayaan sekuler di Eropa.
ANTARA News
0 komentar:
Posting Komentar